Assalamualaikum Bapak Quraish,
Dalam kehidupan sehari-hari kita sering memanggil istri atau suami dengan kata ibu dan bapak. Apakah ini zihar. Apakah dalam jatuhnya zihar perlu adanya unsur kesengajaan? Bagaimana untuk menyatukan kembali suami-istri yang telah melakukan zihar?
Dalam kehidupan sehari-hari kita sering memanggil istri atau suami dengan kata ibu dan bapak. Apakah ini zihar. Apakah dalam jatuhnya zihar perlu adanya unsur kesengajaan? Bagaimana untuk menyatukan kembali suami-istri yang telah melakukan zihar?
Haryoni Heri
Sdr. Haryoni,
Kata zihar terambil dari kata zaher yang berarti punggung. Secara umum zihar dapat didefinisikan sebagai ucapan seorang mukallaf (dewasa dan berakal) kepada wanita yang halal digaulinya bahwa ia sama dengan salah seorang yang haram digaulinya baik karena hubungan darah, perkawinan, penyusuan, maupun oleh sebab yang lain.
Kata zihar terambil dari kata zaher yang berarti punggung. Secara umum zihar dapat didefinisikan sebagai ucapan seorang mukallaf (dewasa dan berakal) kepada wanita yang halal digaulinya bahwa ia sama dengan salah seorang yang haram digaulinya baik karena hubungan darah, perkawinan, penyusuan, maupun oleh sebab yang lain.
Ada syarat-syarat bagi jatuhnya sangsi zihar, baik bagi pengucap, yang ditujukan kepadanya ucapan, persamaan yang dimaksud, maupun redaksi yang digunakan. Ada ucapan-ucapan yang tidak terlalu jelas maknanya sehingga jatuh tidaknya zihar tergantung niat pengucapnya. Misalnya, jika sang suami mempersamakan istrinya dengan mata, atau kepala ibunya.
Mata dan kepala bukanlah objek hubungan seks, ia pun biasa diucapkan dalam konteks penghormatan. Kasih sayang pun demikian. Ucapan ‘ibu’ yang ditujukan kepada istri, tidak lagi dipahami sebagai bermakna ibu. Demikian pengertian populernya dewasa ini. Atas dasar itu kita tidak dapat menilainya zihar, kecuali jika yang bersangkutan memang dengan sengaja menyebutkan kata itu dalam pengertian ibu kandungnya.
Alquran menilai ucapan zihar sebagai kebohongan dan kemungkaran besar serta menetapkan sanksi kewajiban membayar kaffarat sebelum suami menggauli istrinya. Kaffarat tersebut adalah memerdekan budak, atau kalau tak ada, maka berpuasa dua bulan berturut-turut, dan kalau tak mampu, memberi makan enam puluh orang miskin. (Baca QS. Almujadalah 58:1-4 Demikian. Wallahu A`lam.
Sumber : republika.co.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar